Header Ads


Studi Untuk Buktikan Keampuhan Vaksin Pfizer dan Moderna Lawan COVID-19

Studi Untuk Buktikan Keampuhan Vaksin Pfizer dan Moderna Lawan COVID-19

SahabatQQ - Sebuah studi baru menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh Pfizer-BioNTech dan Moderna-NIAID sangat efektif dalam mencegah infeksi COVID-19, baik yang dengan gejala maupun tanpa gejala. 


Studi tersebut diterbitkan pada 29 Maret 2021 lalu dalam jurnal Morbidity and Mortality Weekly Report, sebuah publikasi dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC).


Dari studi tersebut, peneliti menemukan bahwa kedua vaksin tersebut dapat mengurangi risiko infeksi hingga 80 persen setelah dua minggu dari suntikan pertama. Sementara itu, risiko infeksi COVID-19 turun hingga 90 persen dalam dua minggu setelah menerima suntikan kedua.


Temuan studi tersebut memvalidasi studi sebelumnya, yang mengindikasikan bahwa vaksin mulai bekerja setelah dosis pertama, serta memastikan bahwa vaksin juga mencegah infeksi tanpa gejala.


Karena tim peneliti tidak bisa memberi jawaban pasti berapa persen perlindungan yang diberikan bila seseorang hanya mendapatkan satu dosis penyuntikan, CDC menyarankan masyarakat untuk tetap mendapatkan dosis vaksin yang dianjurkan.


1. Pentingnya mengetahui faktor efektivitas vaksin tidak hanya dari efikasi vaksinnya saja


Efektivitas vaksin adalah kemampuan vaksin dalam menurunkan kejadian penyakit di dunia nyata, yang mana vaksin sudah didistribusikan ke masyarakat. Beda hanya dengan efikasi yang hanya menunjukkan kemampuan vaksin yang masih dalam tahap penelitian.


Tingkat efektivitas vaksin bisa lebih rendah daripada tingkat efikasinya. Ini karena beberapa faktor penerima vaksin yang dinamis. Ini tentu saja tak lepas dari kondisi penerima vaksin yang berbeda-beda dan tidak dapat dikontrol satu per satu seperti saat penelitian.


Sebagai contoh, kita tahu bahwa vaksin bukanlah senjata tunggal untuk menangkal virus penyebab COVID-19. Disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan tetap harus dilakukan untuk mencegah paparan infeksi. Namun, apa yang terjadi di dunia nyata, walaupun anjuran taat protokol kesehatan terus digaungkan, nyatanya keputusan untuk menjalankannya atau tidak tergantung pola pikir masyarakat.


Itulah yang membuat efektivitas vaksin jika diuji di dunia nyata menjadi lebih rendah daripada tingkat efikasinya saat uji klinis. Bukan karena kekuatan vaksin menurun, melainkan keberagaman perilaku para penerima vaksin harus diperhatikan bila ingin hasilnya seperti tingkat efikasi saat uji klinis.


2. Vaksin Pfizer dan Moderna bisa mengurangi infeksi COVID-19, baik yang bergejala atau tidak


Studi yang dilakukan oleh CDC yang terbit pada 29 Maret lalu dilakukan di Amerika Serikat (AS), dengan melibatkan 3.950 petugas kesehatan dan semua pihak yang bekerja di garda terdepan sektor kesehatan di enam negara bagian. 


Dilaporkan bahwa mereka menerima salah satu dari vaksin pada tanggal 14 Desember 2020 hingga 13 Maret 2021. Pada studi tersebut, tidak ada tenaga medis yang sebelumnya dinyatakan positif COVID-19. Sekitar 74 persen memiliki setidaknya satu suntikan, dan tes dilakukan setiap minggu pada mereka yang terinfeksi bergejala maupun tanpa gejala.


Hasilnya, 161 orang yang terinfeksi COVID-19 termasuk tenaga medis yang tidak divaksin, 3 orang terinfeksi setelah mendapatkan dua dosis penuh vaksin, dan 8 orang terinfeksi COVID-19 setelah mendapat satu dosis vaksin.


Dari hasil penelitian tersebut, para ahli menyimpulkan bahwa perlindungan vaksin Pfizer dan Moderna masih tergolong tinggi dan efektif untuk mengurangi risiko paparan COVID-19 baik yang ada gejala dan tidak.


SahabatQQ: Agen DominoQQ Agen Domino99 dan Poker Online Aman dan Terpercaya


3. Pemakaian masker dan physical distancing meningkatkan perlindungan vaksin


Efektivitas vaksin di masyarakat bisa sedikit berubah ketika peneliti memperhitungkan faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, etnis, serta pekerjaan penerima vaksin. Namun, karena masih terbatasnya penelitian tentang infeksi COVID-19 yang terjadi selama masa studi, maka penelitian akan tingkat efikasi vaksin harus dilihat dengan hati-hati.


Hasil studi efikasi vaksin dari uji klinis ke masyarakat bisa sangat bervariasi, karena terdapat faktor yang meningkatkan ataupun mengurangi infeksi, seperti perilaku seseorang setelah divaksinasi.


Salah satu peneliti mengatakan bahwa partisipan dalam studi adalah petugas kesehatan dan pekerja garda terdepan. Jadi, mereka cenderung terus patuh protokol kesehatan bahkan setelah mereka divaksinasi, sehingga hasil yang didapat selama uji klinis bisa mencapai efikasi 90 persen.


4. Perbedaan antara vaksin Pfizer dan Moderna


Vaksin dari Pfizer-BioNTech dan Moderna dua vaksin yang diberikan di AS. Kedua vaksin tersebut sama-sama dibuat dan diuji klinis di negara tersebut.


Adapun teknologi vaksin yang digunakan oleh keduanya sama, yaitu menggunakan teknologi messenger RNA (mRNA). Teknologi ini termasuk baru dalam pengembangan penelitian vaksin. Dilansir Channel News Asia, teknologi mRNA ini bisa membuat sel-sel tubuh "belajar" membuat pertahanan tubuh ketika vaksin disuntikkan.


Meski demikian, kelemahan vaksin Pfizer-BioNTech ketimbang Moderna adalah, vaksin Pfizer harus disimpan dalam suhu minus 70 derajat Celcius, sehingga untuk distribusinya kurang cocok untuk negara-negara berkembang. Sementara itu, vaksin Moderna bisa disimpan pada suhu minus 20 derajat Celcius.


Akan tetapi, seperti diumumkan di laman resmi Pfizer pada 19 Februari lalu, dikatakan bahwa perusahaan tersebut menyerahkan data baru ke Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) yang menunjukkan kestabilan vaksin COVID-19 mereka ketika disimpan pada suhu -25 derajat Celcius hingga -15 derajat Celcius, yang mana suhu ini banyak ditemukan di freezer dan lemari pendingin farmasi. Penyimpanan dengan suhu tersebut bisa dilakukan selama total dua minggu sebagai alternatif penyimpanan dalam freezer bersuhu sangat rendah.


Dilansir STAT News, studi menyebut bahwa perbedaan antara vaksin Moderna dan Pfizer terletak pada dosisnya. Vaksin Pfizer memiliki dosis 30 mikrogram, sedangkan vaksin Moderna 100 mikrogram.


Operation Warp Speed yang merupakan lembaga vaksin pemerintah AS menekankan bahwa Moderna diharapkan bisa memperkecil dosis vaksinnya tanpa harus mengurangi kemampuan vaksin untuk melindungi tubuh penerimanya. Dosis sebanyak 100 mikrogram dianggap terlalu banyak untuk disuntikkan.


5. Perbedaan teknologi vaksin Pfizer dan Moderna dengan Sinovac


Vaksin Pfizer dan Moderna sama-sama menggunakan teknologi mRNA. Artinya, yang ada di dalam vaksin adalah virus atau bakteri buatan yang menyerupai asli, sehingga dari situ tubuh bisa mengenali dan membentuk kekebalan.


Sementara itu, vaksin Sinovac yang sudah beredar di Indonesia menggunakan teknologi vaksin tradisional, yang mana virus atau bakteri asli telah dilumpuhkan lalu disuntikkan, sehingga tubuh bisa membentuk antibodi.


Perbedaan antara vaksin-vaksin tersebut ada pada metode membentuk kekebalan tubuhnya. 


Dilansir The Conversation, peneliti mengembangkan teknologi mRNA mengingat teknologi tradisional hanya berlaku efektif pada seseorang dengan kekebalan tubuh yang baik saat sebelum menerima vaksinasi.


Dari penjelasan di atas, kita bisa mengetahui bahwa mendapatkan vaksin sangat penting untuk senjata tambahan demi melindungi kita semua dari COVID-19. Namun, yang terpenting adalah perilaku kita dalam beradaptasi dengan kondisi pandemi seperti sekarang. Bila kamu sudah mendapat vaksinasi, tetap patuh protokol kesehatan, dan jika sudah tiba gilirannya kamu mendapat vaksinasi, jangan menundanya. Agen Domino99

No comments